Politik

Karier Politik Sutan Sjahrir Mati di Tangan PKI

Redaksi Redaksi
Karier Politik Sutan Sjahrir Mati di Tangan PKI
f internet

BERKABAR.COM--Beberapa partai pemilu sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemiluhan Umum (KPU) untuk mengikuti Pemilu 2019

mendatang. Sementara sejumlah partai lain sedang bersiap-siap. Mengingat kabar tersebut, saya hendak bercerita terkait pemilu

pada 1955.

Pada 1955, menjelang pemilu pertama, saya menghadiri kampanye Partai Sosialis Indonesia (PSI) di lapangan Gambir (kini

Monas), berhadapan dengan gedung Dana Reksa. Saya, sebagai pembaca koran Pedoman, tertarik pada PSI. Koran yang dipimpin

Rosihan Anwar ini menjadi pendukung PSI, bersama Keng Po dan Indonesia Raya. Ketiganya, pada 1950-an dan 1960-an merupakan

koran yang memiliki tiras terbesar di Indonesia.

Jumlah massa mengikuti kampanye ternyata tidak begitu banyak. Sekalipun hanya bagian kecil lapangan Gambir yang digunakan,

masih tampak ruang-ruang kosong. Padahal, hadir Sutan Sjahrir, ketua umum PSI Sumitro Djojohadikusumo, Subadio Sastrosatomo,

dan sejumlah tokoh PSI lainnya. Jauh lebih sepi dibanding kampanye Masyumi, PNI, NU dan PKI.

Dalam kampanye PSI itu hadir pula ketua partai sosialis Birma. Pada tahun-tahun tersebut di Asia dan Eropa banyak bermunculan

partai sosialis yang mempunyai pengaruh kuat di pemerintahan.

Sedikitnya pendukung PSI tercermin pada hasil Pemilu 1955. Partai yang dijuluki sosialis kanan (soska) karena gandrung kepada

kelompok Troskis ketimbang Stalin yang berkuasa setelah meninggalnya Lenin itu hanya meraih lima kursi di parlemen merosot

dari sebelumnya 17 kursi.

Partainya Sjahrir yang dijuluki Bung Kecil itu tidak begitu laku di kalangan buruh dan tani, meski di kalangan terpelajar

memiliki kader-kader militan yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis dan Gerakan Pemuda Sosialis.

Setidak-tidaknya, setelah PKI dibubarkan karena dituduh terlibat G30S, para kader PSI menduduki posisi penting dalam

pemerintahan Orde Baru. Bahkan, Widjojo Nitisastro menjadi ketua Bappenas dan anggota-anggota kelompoknya memegang kendali

ekonomi.

Pada masa Jepang, Sjahrir dikenal sebagai tokoh yang non-kooperatif. Ia menolak kerja sama dengan Jepang, berlainan dengan

Sukarno-Hatta yamg mau kerja sama dengan Dai Nippon. Dia mendirikan PSI pada tahun 1948, setelah pada awal revolusi

mengeluarkan sebuah buklet berjudul Perjuangan Kita, yang berisi diagnosis terhadap masalah-masalah kontemporer Indonesia

pada masa revolusi fisik.

Di masa itulah kemudian ‘si Bung Kecil’ menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri. Naiknya Sjahrir sebagai PM untuk

menunjukkan kepada Belanda bahwa republik ini bukan bentukan Jepang.

Tan Malaka Tentang Gaya Politik Sjahrir

Wartawan senior Rosihan Anwar dalam buku Subadio Sastrosastomo mengemukakan, kekalahan PSI dalam Pemilu 1955 berarti

berakhirnya politik Sjahrir. Ini suatu hal yang tragis, tulisnya. Hal yang sama dikemukakan Jenderal Simatupang dan Mochtar

Lubis.

Namun, PM pertama RI ini justru tutup usia dalam status sebagai tahanan politik Orla pada 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Dia

diizinkan berobat ke Swiss oleh Presiden Soekarno sejak Mei 1965. Dalam surat izin itu Sjahrir diperbolehkan berobat ke mana

saja selain ke Belanda. Kalau pada masa Orla dia dianggap penghianat, saat jenazahnya tiba di tanah air dia dielu-elukan

sedemikian rupa, bahkan diangkat sebagai pahlawan nasional.

Keberhasilan Sjahrir menduduki jabatan PM tidak serta-merta menghilangkan gejolak yang ada. Menurut Anderson (1988) dalam

salah satu tulisannya, ada dua hal yang menjadi fokus permasalahan. Pertama, kabinet tersebut tidak mewakili semua golongan,

bahkan hanya dikuasai pemimpin-pemimpin dari Partai Sosialis dan beberapa orang profesional yang buta politik. Kedua, karena

isi program kabinet Sjahrir yang mengutamakan diplomasi daripada perlawanan bersenjata.

Salah satu tokoh yang keras menentang kebijakan-kebijakan Sjahrir adalah Tan Malaka. Dalam usia yang sangat muda, Tan Malaka

berpidato pada sidang kominteren (komunis internasional). Kelompok Tan Malaka yang juga sosialis memiliki kader-kader muda

yang berpendirian setelah kemerdekaan diproklamirkan bukan sesuatu yang harus dirundingkan. Kemerdekaan itu adalah seratus

persen milik bangsa Indonesia.

Kecendrungan semacam itu makin memuncak setelah terjadinya pertempuran di Surabaya tanggal 10 November 1945. Tan Malaka yang

melihat secara langsung peristiwa itu menganggap semangat yang muncul pada waktu itu merupakan tanda untuk dapat menggerakkan

massa guna merealisasikan revolusi total.

Baginya, pertempuran-pertempuran amat penting dilakukan dengan pengorganisasian serta kepemimpinan yang kuat. Bukan

semata-mata dilakukan melalui perundingan-perundingan, tulis Aria Wiratma, anggota Studi Klub Sejarah, UI. Tan Malaka mati

tertembak dalam revolusi fisik.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta diculik oleh para pemuda agar memproklamirkan kemerdekaan saat itu juga, dalam bukunya Bung

Karno, Penyambung Lidah Rakyat, dia menuduh Sjahrirlah orang yang menyala-nyalakan api para pemuda itu. Padahal yang menculik

Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdenglok, Karawang, kemudian dikenal sebagai kelompok Tan Malaka. Mereka kemudian tergabung

dalam Partai Murba, yang juga dituduh Troskis dan sangat dibenci PKI-nya DN Aidit.

Ketika PSI bersama Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno pada 1960, berarti dua musuh bebuyatan PKI jadi partai terlarang. Maka,

bagi PKI, tinggal Partai Murba yang harus dihadapinya. Dan Partai Murba pun mengalami nasib yang sama, dibubarkan oleh Bung

Karno hanya beberapa hari menjelang G30S.

Saat itu, musuh-musuh politik PKI sudah tersingkir. Tapi, PKI menghadapi lawan berat, Angkatan Darat. Meskipun sebelumnya

telah berhasil mengutak-ngatik perpecahan di tubuh ABRI, tapi yang terakhir inilah yang menumpas PKI dan menggagalkan G30S.
Sumber: republikia.co.id

Penulis: Redaksi