BERKABAR.COM - Kejahatan yang dilakukan oknum polisi kerap disorot publik. Bukan tanpa sebab, karena mereka sejatinya menjadi penegak dan pendekar hokum. Namun karena suatu hal justeru sebaliknya yakni melawan hokum. Sebut saja Ferdy Sambo, kasus pembunuhan yang diduga didalanginya tak hanya menghebohkan Indonesia. Namun menjadi sorotan dunia melalui media asing milik mereka yang diturunkan ke Indonesia.
Wajar, karena jabatan yang dulu diemban Ferdy Sambo terbilang mentereng. Selain menyandang bintang dua di pundak. Dia adalah polisinya polisi. Menjadi garda terdepan menjalankan peraturan dan penegakan disipilin di korp Bhayangkara. Apalagi fungsi atau peran utama polisi adalah melindungi dan mengayomi. Ya, menjadi ironis dengan apa yang dilakukan Sambo.
Lumrah jika sebagian besar publik menilai atau berpendapat dia adalah oknum polisi jahat, karena korbannya adalah ajudan sendiri. Sah-sah saja jika ada yang berpendapat seperti itu. Toh, yang namanya pendapat dan penilaian tidak luput atau lepas dari unsur subyektif. Artinya siapa menilai siapa
Atas hal tersebut, Sambo pun menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia dan institusi Polri karena tidak jujur.
Namun ada yang berpendapat atau menilai ibahwa oknum polisi Jambi, Gribaldi Handayani yang tega bakar korbannya, lebih jahat dari Ferdy Sambo?
Delapan belas tahun silam atau tepatnya pada 2005 silam, gempar berita kasus yang lebih mengerikan daripada pembunuhan yang dilakukan Ferdy Sambo.
Pelaku merupakan anggota Kepolisian Polda Jambi yang saat itu masih aktif bertugas, Iptu Muhamad Gribaldi Handayani.
Gribaldi Handayani pada waktu itu melakukan pembunuhan berantai terhadap 7 orang. Salah satunya, termasuk istri mudanya sendiri dalam kurun waktu 6 tahun.
Dikutip dari intisarionline.com, hHilangnya istri muda Gribaldi ini diketahui sejak Agustus 2004 setelah menikah dengan Gribaldi sebagai istri kedua.
Menurut pengakuan Gribaldi, istrinya itu pergi ke Jakarta untuk mengikuti kursus kecantikan. Gribaldi awalnya menyangkal semua tuduhan. Apalagi, ia adalah seorang anggota kepolisian.
Namun saat dilakukan penyelidikan, polisi berhasil mengumpulkan banyak bukti yang mengarah padanya. Berdasarkan hasil pemeriksaan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Pekanbaru, Iptu Gribaldi dinyatakan normal.
Diperlukan empat Polda untuk mengungkap kasus ini, yakni Polda Jambi, Riau, Sumatera Selatan, hingga Sumatera Utara.
Dari 7 korban perbuatan Gribaldi ini, jenazah Yeni Farida yang dibunuh di wilayah Minas, Bengkalis-Riau belum juga ditemukan.
Gribaldi yang sempat menjabat Kepala Urusan Informasi Kriminal Telematika Polda Jambi tidak mengingat secara pasti lokasi pembunuhan Yeni.
Gribaldi tidak mengingat lokasi pembunuhan Yeni bukan tanpa alasan. Itu merupakan strateginya agar dianggap gila. Para korban sudah kenal baik dengan tersangka. Bahkan, saat hendak dibunuh, tidak ada yang melakukan perlawanan.
Korbannya juga ada yang meninggal dengan dibakar. Ngadimin merupakan salah satu korbannya yang dibunuh dengan cara ditembak dan di bakar.
Akhirnya, Gribaldi mengaku, ia membunuh korban karena kesal. Lantaran, Ngadimin menagih janjinya untuk memasukkan beberapa orang untuk menjadi Polisi.
Selain itu, ada Listi Kartika Baiduri yang berurusan dengan Gribaldi. Ia sempat berjanji menguruskan adiknya untuk menjadi PNS. Ketika ia menagih janjinya, Gribaldi menjadi kesal.
Akhirnya, pada suatu malam, Gribaldi Handayani menghabisinya dengan menembak dan membakarnya dengan menyiram bensin. Namun berkat kejelian dan kerjakeras penyedik alhasil kasus ini berhasil diungkap.
Buang Air Kecil
Tidak waras. Itulah kesan yang muncul bila ada kabar seorang polisi tega menghabisi 7 koleganya. Tapi Iptu Gribaldi, pembunuh berantai yang menghebohkan Jambi dan Riau itu secara psikis sehat walafiat.Hasil pemeriksaan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Pekanbaru, Iptu Gribaldi dinyatakan normal.
"Kejiwaan tersangka normal," kata Kanit IV Reskrim Polda Riau AKP Aire Darmanto pada detikcom, Kamis (28/4/2005).
Ulah tersangka pembunuhan berantai yang memiliki nama lengkap Muhamad Gribaldi Handayani (32) sungguh telah membuat repot teman satu korpsnya.
Bayangkan, untuk mengungkap kasusnya, empat Polda 'terpaksa' turun tangan. Polda yang terlibat itu mulai Polda Jambi, Riau, Sumatera Selatan hingga Sumatera Utara.Dari 7 korban perbuatan biadab Gribaldi ini jenazah Yeni Farida yang dibunuh di wilayah Minas, Bengkalis-Riau belum juga ditemukan.
Gribaldi yang sempat menjabat Kepala Urusan Informasi Kriminal Telematika Polda Jambi tidak mengingat secara pasti di mana Yeni dibunuhnya.Gribaldi tidak mengingati lokasi pembunuhan Yeni bukan tanpa alasan. Itu merupakan strateginya agar dianggap gila. Untuk membuktikan dia sehat atau tidak, kejiwaan Gribadli pun diperiksakan ke RS Jiwa Pekanbaru. Pemeriksaan ini penting karena dia diduga psikopat atau mengalami kelainan jiwa.
Tapi rupanya hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi Gribaldi oke-oke saja.Dari hasil otopsi dan forensik Polda Jambi dan Pusat Labfor Mabes Polri diketahui para korban tewas dengan cara yang sama yaitu ditembak di bagian kepala dan perut, saat sedang membuang air kecil. Para korban sudah kenal baik dengan tersangka dan saat hendak dibunuh tidak ada yang melakukan perlawanan. Pada tubuh seluruh korban ditemukan bekas proyektil jenis peluru yang sama yakni dari pistol Colt 38.
Diklaim Lebih Keji dan Dihukum Mati
Seperti diprediksi, sdang pembacaan vonis dari majelis hakim Hari Senin (13/2) lalu menjadi sorotan publik. Sejumlah televisi melakukan siaran langsung untuk mengetahui vonis apa yang diambil majelis hakim. Belum lagi sebelum putusan itu dibacakan banyak rumor berseliwran. Namun akhirnya hakim dalam amar keputusannya menyatakan Ferdy Sambo dijatuhi hukuman mati.
Setelah dilakukan sidang yang panjang, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu divonis hukuman mati dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menilai, Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
"Mengadili, menyatakan terdakwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana,” ujar Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
"Menjatuhkan pidana oleh karena itu hukuman mati," ucapnya melanjutkan seperti dilansir intiari online.com.
Putusan vonis hakim tersebut lebih berat dari tuntutan Jaksa penuntut umum. Untuk diketahui, jaksa penuntut umum menuntut Ferdy Sambo dijatuhi pidana seumur hidup.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir J yang direncanakan terlebih dahulu.
Ferdy Sambo dinilai telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Ferdy Sambo juga terbukti terlibat obstruction of justice atau perintangan penyidikan terkait pengusutan kasus kematian Brigadir J. Ia terbukti melanggar Pasal 49 UU ITE juncto Pasal 55 KUHP.
Divonis hukuman mati, kata kunci Ferdy Sambo pun sempat menjadi trending topik di media sosial. Warganet menunjukkan reaksinya terhadap putusan yang telah mereka nantikan selama berbulan-bulan ini.
Ferdy Sambo akhirnya senasib dengan sosok polisi lainnya yang dikenal akan kekejiannya, bahkan diklaim lebih keji, Gribaldi Handayani.
Kasus Ferdy Sambo telah menjadi kasus yang begitu menghebohkan Indonesia. Bagaimana tidak, seorang polisi yang memiliki tugas untuk melindungi masyarakat justru menjadi terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya sendiri.***
Penulis: Redaksi
Editor: Solihin