Dumai

DPPPA Dumai Sosialisasikan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Redaksi Redaksi
DPPPA Dumai Sosialisasikan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
DUMAI - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Dumai mensosialisasikan Peraturan Daerah (Perda) Kota Dumai Nomor 4 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Ini isi lengkap Perda Kota Dumai itu.
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA DUMAI,
 
Menimbang :
a.bahwa setiap warga negara berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakukan yang merendahkan derajat martabat manusia serta berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan;
 
b.bahwa segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya sesuai dengan fitrah dan kodratnya tanpa diskriminasi;
 
c.bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah terus meningkat, sehingga diperlukan upaya perlindungan;
 
d.bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan belum mengatur upaya-upaya perlindungan di daerah sehingga diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan yang dapat menjamin pelaksanaannya;
 
e.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
 
Mengingat :
 
1.Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 
2.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143);
 
3.Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Dumai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3829);
 
4.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
 
5.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606);
 
6.Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635);
 
7.Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720);
 
8.Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928);
 
9.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
 
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
 
11.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kota/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
 
12.Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Anak;
 
13.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;
 
14.Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Kota Dumai (Lembaran Daerah Kota Dumai Tahun 2008 Nomor 2 Seri D);
 
15.Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perdagangan Orang (Trafficking In Person) Perempuan Dan Anak (Lembaran Daerah Kota Dumai Tahun 2008 Nomor 3 Seri D);
 
16.Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 15 Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Dumai (Lembaran Daerah Kota Dumai Tahun 2008 Nomor 8 Seri D) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 3 Tahun 2011 tentang Perubahan Peraturan Daerah Kota Dumai Nomor 15 Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Dumai (Lembaran Daerah Kota Dumai Tahun 2011 Nomor 3 Seri D).
 
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN
 
Pasal 1
 
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1.Daerah adalah Kota Dumai.
2.Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
3.Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Dumai.
4.Pemerintah Daerah Provinsi adalah Pemerintah Daerah Provinsi Riau.
5.Walikota adalah Walikota Dumai.
6.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD Kota adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota di Dumai.
7.Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah di Dumai.
8.Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang selanjutnya disingkat BKBPPPA adalah Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
9.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 
10.Perempuan adalah seseorang yang berjenis kelamin perempuan. 
11.Kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat atau dapat mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan baik fisik, seksual, ekonomi, sosial, dan psikis terhadap korban. 
12.Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, ekonomi, sosial, psikis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan, baik yang terjadi di depan umum atau kehidupan pribadi. 
13.Kekerasan terhadap anak adalah setiap tindakan yang berakibat atau mungkin berakibat penderitaan anak secara fisik, psikis, seksual, penelantaran, eksploitasi, dan kekerasan lainnya.
14.Korban adalah perempuan dan anak yang mengalami kesengsaraan dan atau penderitaan baik langsung maupun tidak langsung sebagai akibat dari kekerasan yang terjadi di wilayah daerah. 
15.Perlindungan terhadap perempuan adalah segala kegiatan yang ditujukan untuk memberikan rasa aman yang dilakukan oleh pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga sosial, atau pihak lain yang mengetahui atau mendengar akan atau telah terjadi kekerasan terhadap perempuan. 
16.Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
17.Pelayanan adalah tindakan yang dilakukan sesegera mungkin kepada korban ketika melihat, mendengar dan mengetahui akan, sedang atau telah terjadinya kekerasan terhadap korban. 
18.Pendamping adalah orang atau perwakilan dari lembaga yang mempunyai keahlian melakukan pendampingan korban untuk melakukan konseling, terapi dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan.
19.Badan peradilan adalah peradilan umum yang mempunyai kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan padanya, untuk mewujudkan penegakan hukum dan keadilan.
20.Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
21.Gugatan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada hakim untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah merugikan dirinya secara keperdataan. 
22.Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disingkat P2TP2A adalah suatu unit kerja fungsional yang menyelenggarakan pelananan terpadu korban kekerasan.
23.Rumah Aman adalah rumah singgah untuk korban, selama proses pendampingan, guna keamanan dan kenyamanan korban dari ancaman dan bahaya pelaku. 
24.Standar Operasional Prosedur yang selanjutnya disingkat SOP adalah langkah-langkah standar yang harus dilakukan dalam melindungi korban mulai dari pengaduan/identifikasi, rehabilitasi, kesehatan, rehabilitasi social, layanan hukum sampai dengan pemulangan dan reintegrasi sosial saksi dan/atau korban. 
25.Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
26.Rumah Tangga adalah suami, istri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwakilan, dan/atau Pekerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. 
27.Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Dumai.
28. Forum Perlindungan Korban Kekerasan yang selanjutnya disingkat FPKK adalah forum koordinasi penanganan korban kekerasan perempuan dan anak yang penyelenggaraanya dilakukan secara berjejaring.
 
Pasal 2
 
Asas perlindungan korban adalah:
a. penghormatan dan pemenuhan terhadap hak-hak korban;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. non diskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi korban; dan
e. pemberdayaan.
 
Pasal 3
 
Tujuan perlindungan korban adalah:
a. mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak;
b. melindungi korban kekerasan;
c. menindak pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak;
d. memberikan pelayanan kepada korban; dan
e. melakukan pemberdayaan kepada perempuan korban kekerasan.
 
Pasal 4
 
Ruang lingkup perlindungan terhadap korban meliputi upaya pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan terhadap korban kekerasan di daerah.
 
Pasal 5
 
Bentuk-bentuk kekerasan antara lain: 
a. kekerasan fisik; 
b. kekerasan psikis; 
c. kekerasan seksual; 
d. penelantaran; 
e. eksploitasi; dan/atau 
f. kekerasan lainnya. 
 
Pasal 6
 
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (a) disebabkan karena perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, gugurnya kandungan, pingsan dan/atau menyebabkan kematian.
 
Pasal 7
 
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (b) disebabkan karena perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 
 
Pasal 8
 
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (c) disebabkan karena: 
a. perbuatan yang berupa pelecehan seksual;
b. pemaksaan hubungan seksual;
c. pemaksaan hubungan seksual dengan tidak wajar atau tidak disukai; dan/atau 
d. pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. 
 
Pasal 9
 
Penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d disebabkan karena: 
a. perbuatan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan anak secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang dilakukan oleh orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhannya; 
b. perbuatan mengabaikan dengan sengaja untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya yang dilakukan oleh orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhannya; 
c. perbuatan yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; dan/atau
d. perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. 
 
Pasal 10
 
Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (e) disebabkan karena: 
a. perbuatan yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
b. perbuatan yang dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil; dan/atau 
c. segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran atau pencabulan 
 
Pasal 11
 
Kekerasan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (f) disebabkan karena: 
a. ancaman kekerasan meliputi setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang; dan 
b. pemaksaan, meliputi suatu keadaan dimana seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri. 
 
Pasal 12
 
Setiap korban mendapatkan hak-hak sebagai berikut: 
a. hak untuk dihormati harkat dan martabatnya sebagai manusia; 
b. hak atas pemulihan kesehatan dan psikologis dari penderitaan yang dialami korban; 
c. hak menentukan sendiri keputusannya; 
d. hak mendapatkan informasi; 
e. hak atas kerahasiaan identitasnya; 
f. hak atas kompensasi; 
g. hak atas rehabilitasi sosial; 
h. hak atas penanganan pengaduan; 
i. hak untuk mendapatkan kemudahan dalam proses peradilan; dan/atau 
j. hak atas pendampingan. 
Pasal 13
 
Anak korban kekerasan selain mendapatkan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, juga mendapatkan hak-hak khusus, sebagai berikut: 
a. hak penghormatan atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang; 
b. hak pelayanan dasar; 
c. hak perlindungan yang sama; 
d. hak bebas dari berbagai stigma; dan/atau 
e. hak mendapatkan kebebasan. 
 
Pasal 14
 
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melaksanakan upaya perlindungan korban, dalam bentuk: 
a. membentuk PP2TP2A; 
b. membentuk FPKK; 
c. menetapkan kebijakan; 
d. menyusun perencanaan program dan kegiatan; 
e. memberikan dukungan sarana dan prasarana; dan 
f. mengalokasikan anggaran. 
 
(2) Dalam hal pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah menyusun Rencana Aksi Daerah untuk perlindungan korban. 
 
Pasal 15
 
Pemerintah Daerah menyelenggaraan layanan bagi korban dalam bentuk:
a. memfasilitasi pembentukan P2TP2A; 
b. memfasilitasi sarana dan prasarana P2TP2A sesuai kemampuan; dan 
c. memfasilitasi FPKK sebagai wadah jejaring penanganan korban. 
 
Pasal 16
 
Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: 
a. mengawasi penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, dengan standar pelayanan minimal; dan 
b. menyediakan dana untuk perlindungan korban melalui APBD masing-masing dan/atau sumber keuangan daerah lainnya yang sah yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
 
Pasal 17
 
Dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16, Walikota memberikan wewenang kepada SKPD yang membidangi Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 
 
Pasal 18
 
Disamping kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16, masyarakat dan keluarga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sebagai berikut: 
a. mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak; 
b. melaporkan bila terjadi kekerasan; 
c. melindungi korban; dan 
d. memberikan pertolongan darurat. 
 
Pasal 19
 
(1) P2TP2A dibentuk oleh Pemerintah Daerah dan lembaga masyarakat.
 
(2) P2TP2A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unit kerja fungsional yang mempunyai tugas, pokok, dan fungsi memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak dari tindak kekerasan.
 
(3) P2TP2A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan pelayanan dan perlindungan sementara berupa rumah aman bagi korban kekerasan.
 
(4) Dalam hal P2TP2A tidak memiliki rumah aman (shelter) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka korban kekerasan dirujuk pada PPT yang memiliki rumah aman. 
 
Pasal 20
 
(1) Struktur organisasi P2TP2A yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) terdiri dari: 
a. Ketua Umum atau sebutan lain yang setingkat; 
b. Sekretaris; 
c. Bendahara; dan 
d. Ketua Pelaksana yang membawahi bidang-bidang.
 
(2) Bidang-bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, sekurang-kurangnya meliputi: 
a. bidang layanan pengaduan; 
b. bidang layanan kesehatan; 
c. bidang layanan rehabilitasi sosial; 
d. bidang pemulangan dan reintegrasi sosial; dan 
e. bidang layanan bantuan hukum. 
 
Pasal 21
 
Bidang layanan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a memiliki tugas:
a. melakukan wawancara dan observasi keadaan korban; 
b. membuat rekomendasi layanan lanjutan; 
c. melakukan koordinasi dan rujukan ke layanan lanjutan dan pihak terkait; dan 
d. melakukan administrasi proses pengaduan. 
 
Pasal 22
 
Bidang layanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b memiliki tugas: 
a. melakukan pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan lanjutan terhadap korban; 
b. melakukan koordinasi pelaksanaan rehabilitasi kesehatan dan mediko-legal; 
c. melakukan pemeriksaan mediko-legal meliputi pengumpulan barang bukti pada korban dan pembuatan visum et repertum; 
d. melakukan pemeriksaan penunjang dan laboratorium terhadap barang bukti;
e. melakukan konsultasi kepada dokter ahli atau melakukan rujukan; dan 
f. membuat laporan kasus. 
 
Pasal 23
 
Bidang layanan rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c memiliki tugas: 
a. melakukan pendampingan selama proses penanganan kasus; dan 
b. melakukan konseling. 
 
Pasal 24
 
Bidang pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf d memiliki tugas: 
a. melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk pemulangan korban; 
b. membuat laporan perkembangan proses pendampingan pemulangan dan rehabilitasi sosial; dan 
c. melakukan pemantauan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan setelah korban dipulangkan ke keluarganya.
 
Pasal 25
 
Bidang layanan bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf e memiliki tugas: 
a. mendampingi dan membela setiap proses pelayanan hukum; dan 
b. membuat laporan perkembangan penanganan hukum. 
 
Pasal 26
 
(1) P2TP2A yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) konselor.
 
(2) Konselor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. konselor dalam bidang hukum; 
b. konselor dalam bidang kesehatan; dan 
c. konselor dalam bidang psikologi. 
 
Pasal 27
 
Struktur organisasi P2TP2A yang dibentuk oleh lembaga masyarakat dibentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing instansi. 
 
Pasal 28
 
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, mekanisme dan hubungan kerja berjejaring P2TP2A diatur dengan Peraturan Walikota. 
 
Pasal 29
 
(1) Upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah Daerah yang dikoordinasikan oleh SKPD yang membidangi keluarga berencana, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
 
(2) Upaya pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: 
a. membentuk jaringan kerja dalam upaya pencegahan kekerasan; 
b. melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi pencegahan kekerasan berdasarkan pola kemitraan; 
c. membentuk sistem pencegahan kekerasan; 
d. melakukan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan; dan 
e. memberikan pendidikan kritis tentang hak-hak perempuan dan anak bagi masyarakat. 
 
Pasal 30
 
Disamping upaya pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, upaya pencegahan juga harus dilakukan oleh: 
a. keluarga dan/atau kerabat terdekat; 
b. masyarakat; dan 
c. lembaga pendidikan. 
 
Pasal 31
 
(1) Penyelenggaraan pelayanan terhadap korban dilakukan secara terpadu oleh P2TP2A.
 
(2) P2TP2A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerima dan mengirim rujukan kasus dari atau kepada unit pelayanan lainnya secara berjejaring.
 
Pasal 32
 
Penyelenggaraan pelayanan terhadap korban dilaksanakan dengan: 
a. cepat; 
b. aman dan nyaman; 
c. rasa empati; 
d. non diskriminasi; 
e. mudah dijangkau; 
f. tidak dikenakan biaya; dan 
g. dijamin kerahasiaannya. 
 
Pasal 33
 
Bentuk pelayanan terhadap korban meliputi: 
a. pelayanan pengaduan, konsultasi, dan konseling; 
b. pelayanan pendampingan; 
c. pelayanan kesehatan; 
d. pelayanan rehabilitasi sosial; 
e. pelayanan hukum; dan 
f. pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. 
 
Pasal 34
 
Pelayanan pengaduan, konsultasi dan konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi:
a. identifikasi atau pencatatan awal korban; dan 
b. persetujuan dilakukan tindakan (informed consent). 
 
Pasal 35
 
Pelayanan pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi:
a. mendampingi korban selama proses pemeriksaan dan pemulihan kesehatan;
b. mendampingi korban selama proses medicolegal;
c. mendampingi korban selama proses pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan; 
d. memantau kepentingan dan hak-hak korban dalam proses pemeriksaan di Kepolisan, Kejaksaan dan Pengadilan; 
e. menjaga privasi dan kerahasiaan korban dari semua pihak yang tidak berkepentingan, termasuk pemberitaan oleh media massa;
f. melakukan koordinasi dengan pendamping yang lain; dan 
g. memberikan penanganan yang berkelanjutan hingga tahap rehabilitasi. 
 
Pasal 36
 
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c meliputi: 
a. pertolongan pertama kepada korban; 
b. perawatan dan pemulihan luka-luka fisik yang bertujuan untuk pemulihan kondisi fisik korban yang dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis; dan 
c. rujukan ke layanan kesehatan. 
 
Pasal 37
 
Pelayanan rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d merupakan pelayanan yang diberikan oleh pendamping dalam rangka memulihkan kondisi traumatis korban, termasuk penyediaan rumah aman untuk melindungi korban dari berbagai ancaman dan intimidasi bagi korban dan memberikan dukungan secara sosial sehingga korban mempunyai rasa percaya diri, kekuatan, dan kemandirian dalam menyelesaikan masalahnya, dengan cara:
a. memberikan bimbingan kerohanian kepada korban; dan 
b. pemulihan kejiwaan korban. 
 
Pasal 38
 
Pelayanan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf e untuk membantu korban dalam menjalani proses peradilan dengan cara: 
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan yang dialaminya; dan
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. 
 
Pasal 39
 
(1) Pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf f bertujuan untuk mengembalikan korban kepada keluarga dan lingkungan sosialnya.
 
(2) Pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah berkoordinasi dengan: 
a. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lain; dan 
b. instansi dan lembaga terkait baik pemerintah maupun non pemerintah.
 
Bagian Ketiga
Pemberdayaan
 
Paragraf Kesatu
Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan
 
Pasal 40
 
Bentuk pemberdayaan perempuan korban kekerasan meliputi: 
a. pelatihan kerja; 
b. usaha ekonomis produktif dan kelompok usaha bersama; dan 
c. bantuan permodalan. 
 
Pasal 41
 
Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a meliputi: 
a. pelatihan keterampilan; 
b. praktek kerja lapangan; dan 
c. pemagangan. 
 
Pasal 42
 
Usaha ekonomis produktif dan kelompok usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b meliputi: 
a. pelatihan keterampilan wirausaha; 
b. fasilitasi pembentukan kelompok usaha bersama; dan 
c. pendampingan pelaksanaan usaha. 
 
Pasal 43
 
Bantuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c meliputi: 
a. bantuan sarana dan prasarana kerja; dan 
b. fasilitasi bantuan modal kerja. 
 
Pasal 44
 
(1) Pemerintah Daerah, PPT, dan masyarakat berkewajiban melakukan pemenuhan hak-hak anak korban kekerasan.
 
(2) Bentuk pemenuhan hak-hak anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemenuhan hak-hak dasar anak sesuai dengan kebutuhannya. 
 
Pasal 45
 
(1) Dalam upaya menyediakan dan menyelenggarakan penanganan layanan bagi korban, Pemerintah Daerah membentuk FPKK.
 
(2) FPKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: 
a. mengkoordinasikan dan mensingkronisasikan penanganan pelayanan PPT; 
b. memelihara dan mengembangkan jejaring serta sistem rujukan; dan 
c. mengumpulkan, menyusun dan menyajikan laporan kekerasan.
 
(3) Kepungurusan dan keanggotaan FPKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
 
(4) Keanggotaan FPKK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelompokkan dalam peran sebagai berikut: 
a. peran kesehatan; 
b. peran psikologi; 
c. peran hukum; 
d. peran sosial; dan 
e. peran ekonomi.
 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, tugas, pokok, dan fungsi serta keanggotaan FPKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota. 
 
Pasal 46
 
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perlindungan terhadap korban traficking diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri. 
 
Pasal 47
 
(1) Walikota melaksanakan sistem informasi/pelaporan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
 
(2) Sistem informasi/pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
 
Pasal 48
 
(1) Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimal setiap PPT di Daerah.
 
(2) Pembinaan dan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. koordinasi; 
b. bimbingan; 
c. pendidikan dan pelatihan; dan 
d. pemantauan dan evaluasi.
 
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup aspek yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan.
 
(4) Bimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mencakup aspek yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan.
 
(5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
 
(6) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan secara berkala. 
 
Pasal 49
 
Pendanaan atas kegiatan perlindungan bagi korban yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dibebankan pada APBD dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
 
Pasal 50
 
(1) Masyarakat berperan serta dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap korban.
 
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: 
a. membentuk mitra keluarga di Tingkat Kelurahan oleh masyarakat; 
b. membentuk unit perlindungan perempuan dan anak di dalam organisasi kemasyarakatan; 
c. melakukan sosialisasi hak perempuan dan anak secara mandiri; 
d. melakukan pertolongan pertama kepada korban; dan 
e. melaporkan kepada instansi yang berwenang apabila di lingkungannya terjadi kekerasan terhadap korban.
 
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh perorangan, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, swasta, dan media massa. 
 
Pasal 51
 
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya dan memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Dumai.
Penulis: Redaksi


Tag:Pemko Dumai